Gus Baha, Kyai Kampung Tanpa Gelar, Ilmunya Setara Profesor
Nama KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih akrab dipanggil Gus Baha, saat ini sedang menjadi perbincangan banyak kalangan. Selain karena keilmuannya, juga karena namanya mencuat sebagai salah satu calon Ketua Umum PBNU.
Gus Baha merupakan ulama kalangan NU yang tidak memiliki pendidikan formal. Lahir di Rembang, 29 September 1970, Ia dikenal sebagai salah satu ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an. Ia merupakan salah satu murid dari ulama kharismatik, Kiai Maimun Zubair.
Ia merupakan putra dari seorang ulama pakar Al-Qur’an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA, Kiai Nursalim al-Hafizh, dari Narukan, Kragan, Rembang.
Kiai Nursalim merupakan murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Mergoyoso, Pati. Nasabnya bersambung kepada para ulama besar.
Dari silsilah keluarga ayah, Gus Baha merupakan generasi ke-4 ulama-ulama ahli Al-Qur'an. Sedangkan dari silsilah keluarga ibu, Gus Baha menjadi bagian dari keluarga besar ulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyeiban atau Mbah Sambu.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sarang, Gus Baha menikah dengan seorang anak Kiai yang bernama Ning Winda pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
Ada cerita menarik dengan pernikahan beliau. Sebelum lamaran, Gus Baha menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu. Beliau mengutarakan bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yang glamor, melainkan kehidupan yang sangat sederhana.
Kesederhanaan Gus Baha dibuktikan saat beliau berangkat ke Pondok Pesantren Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya. Gus Baha berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus kelas ekonomi ini merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil.
Keilmuan
Gus Baha kecil dididik belajar dan menghafalkan al-Qur'an secara langsung oleh ayahnya dengan menggunakan metode tajwid dan makhorijul huruf secara disiplin. Hal ini sesuai dengan karakteristik yang diajarkan oleh guru ayahnya, yaitu KH. Arwani Kudus.
Kedisiplinan tersebut membuat Gus Baha di usianya yang masih muda, mampu menghafalkan Al-Qur'an 30 Juz beserta Qira'ahnya. Menginjak usia remaja, ayahnya menitipkan Gus Baha' untuk mondok dan berkhidmah kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang.
Di Pondok Pesantren al-Anwar inilah keilmuan Gus Baha mulai menonjol seperti ilmu hadis, fikih, dan tafsir. Dalam ilmu hadis, Gus Baha mampu mengkhatamkan hafalan Sahih Muslim lengkap dengan matan, rowi dan sanadnya. Selain Sahih Muslim beliau juga mengkhatamkan dan hafal isi kitab Fathul Mu'in dan kitab-kitab gramatika bahasa arab seperti 'Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik.
Maka, atas dasar kedalaman keilmuan yang dimiliki Gus Baha’, hal ini yang kemudian membuat Gus Baha’ diberi kepercayaan untuk menjadi Rois Fathul Mu'in dan Ketua Ma'arif di jajaran kepengurusan Pesantren al-Anwar.
Keistimewaan
Sebagai seorang santri tulen, yang berlatar belakang pendidikan non-formal dan non-gelar, Gus Baha' diberi keistimewaan untuk menjadi sebagai Ketua Tim Lajnah Mushaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Gus Baha duduk bersama para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur'an dari seluruh Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.
Pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan Gus Baha di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai mufassir, juga sebagai mufassir faqih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al-Qur'an.
Setiap kali lajnah menggarap tafsir dan mushaf al-Qur'an menurut Prof. Quraisy, posisi Gus Baha selalu di dua keahlian, yakni sebagai mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai Faqihul Qur'an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fikih dalam ayat-ayat ahkam Al-Qur'an.
Teladan
Teladan yang bisa ditiru dari Gus Baha adalah tentang kesederhanaanya. Kesederhanaan yang dipraktikan Gus Baha bukan berarti keluarga dia adalah keluarga yang miskin.
Bahkan kakek Gus Baha dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. Saat dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaan beliau, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur'an yang dipegang erat oleh leluhurnya.
Karya
حفظنا لهذا المصحف لبهاء الدين بن نور سالم
1. Kitab ini adalah kitab yang ditulis oleh Gus Baha yang menjelaskan tentang rasm Usmani yang dilengkapi dengan contoh dan penjelasan yang disandarkan pada kitab al-Muqni' karya Abu 'Amr Usman bin Sa'id ad-Dani (w. 444 H.).
Kitab ini berguna bagi siapapun untuk mengetahui bagaimana memahami karakteristik penulisan al-Qur’an di dalam mushaf rasm Usmani.
2. Tafsir al-Qur an versi UII dan al-Qur’an terjemahan versi UII Gus Baha (2020). Salah satu ciri khas tafsir dan terjemahan UII yang ditulis oleh Gus Baha' dan timnya adalah tafsir ini dikontekstualisasikan untuk membaca Indonesia dan dengan rasa Indonesia. Tafsir dan terjemahan UII ini sama sekali tidak mengubah dari keaslian al-Qur’an itu sendiri.
Dalam melihat perbedaan tentang perayaan Maulid Nabi, Gus Baha memiliki pandangan dan analogi ini.
Senang kelahiran anaknya. Padahal prospeknya ndak jelas. Nanti nakal atau nggak seperti bapaknya juga nggak jelas. Itu sudah senang. Loh ini lahirnya Nabi, disenang-senangkan kok diisykali (diragukan). Artinya kelahiran Nabi ini jelas dipastikan membawa kebahagiaan dunia akhirat. Pasti membawa kebahagiaan dunia akhirat.
Belum ada Komentar untuk "Gus Baha, Kyai Kampung Tanpa Gelar, Ilmunya Setara Profesor"
Posting Komentar